Hampir semua orang yang pernah ke bioskop pasti tahu sebuah film layar lebar yang disutradarai oleh Riri Riza ini, yaitu Laskar Pelangi. Laskar Pelangi merupakan film layar lebar yang begitu laris. Jutaan orang telah menontonnya mulai dari anak2 sampai orang tua. Tak hanya unsure-unsur entertainment yang disuguhkan tetapi unsure-unsur edukasi pun yang penuh dengan sarat makna disajikan dengan kemasan yang menarik dalam Laskar Pelangi. Film ini diangkat dari sebuah kisah nyata anak2 Belitung yang berjuang keras untuk tetap belajar pergi sekolah walaupun uang tak ada dan sarana prasarana tak memadai. Ikal, Harun, Lintang, dan Mahar nama mereka. Di lain hal, beberapa anak sepantaran dengan mereka lebih memilih untuk membantu kedua orang tua mereka mengais rejeki di pabrik-pabrik timah dan bernelayan tanpa sama sekali acuh dengan nasib pendidikan mereka. Bukan berarti pula, Lintang dan kawan2 sama sekali tidak membantu orangtua mereka, mereka pun membantu orang tua mereka ketika waktu sekolah usai atau libur. Sangat mulia apa yang mereka lakukan!
Pada tanggal 24 Mei 2009, malam hari ketika saya berada dalam sebuah angkot ‘Kampus Dalam’ dari Jakarta menuju Al Inayah, sebuah pesantren dimana saya tinggal, saya memperhatikan dua orang anak yang masih muda belia menjadi seorang supir angkot dan kenek, tepat di angkot yang saya tumpangi. Terlintas di benak saya dua pandangan, pandangan yang positif dan pandangan kekhawatiran yang mendalam. Pandangan pertama: mungkin saja mereka melakukan itu semua demi membantu orang tua mereka dalam mengais rejeki atau meringankan beban orang tua mereka semata-mata untuk membiayai pendidikan mereka, pikir saya. Pandangan yang lain: apa benar mereka telah putus sekolah demi menjadi supir angkot karena mereka pikir buat apa sekolah tinggi-tinggi menghabiskan banyak duit tapi toh nanti akhirnya jadi kuli-kuli juga?? Pikir saya dengan seribu tanda tanya yang disertai kekhawtiran itu. Akan tetapi pandangan saya lebih cenderung mengarah pada pandangan kekhawatiran tersebut.
Pada tempat berbeda, kampus Dramaga tercinta, tapi dengan kekhwatiran yang sama, saya teringat teman2 kecil saya yang hampir setiap hari dari pagi sampai senja menyapa kadang ditemani dengan orang tua menjajakan kue-kue atau donat jualannya kepada mahasiswa yang lalu lalang di hadapan mereka. Sebagian dari mereka ada yang masih melanjutkan sekolah tapi ada pula yang tidak sekolah karena tidak mampu untuk bersekolah atau mungkin mereka merasa lebih asik berdagang dengan penghasilan sendiri daripada belajar ke sekolah seperti anak-anak lainnya. Apa yang diceritakan pada film Laskar Pelangi mengenai anak2 yang lebih memilih untuk menjadi kuli (hanya sedikit dari mereka yang belajar pergi ke sekolah) tampak dengan jelas terjadi pula di Dramaga. Benar memang fenomena Laskar Pelangi telah terjadi di langit Dramaga, sebuah langit dari daerah kecil di Indonesia. Entah berapa banyak fenomena ini ada di seluruh Indonesia dan berapa jutaan anak dengan nasib yang sama??
Ini semua adalah cerminan kondisi anak bangsa Indonesia. Melihat kondisi yang amat memprihatinkan ini, apakah Indonesia dapat keluar dari rongrongan kemiskinan?? Dapatkah bangsa ini terbebas dari belenggu kebodohan?? Dapatkah??
jadi inget waktu ngajarin mereka belajar bareng2 anka soskemas Bem fateta tiap hari minggu.
BalasHapustapi sekarang kok kalo ke kampu sdi hari minggu siang dah gak pernah ngeliat kejadia belajar dan mengajar yah???