Rabu, 07 Oktober 2009

Bio Cyclo Farming in Building Sustainable Development System in Indonesian Villages

The effect of global warming that is stimulated from the accumulation of carbon monoxide on the atmosphere has already been worse and worse widely. The north and south pole is rapidly melting contributing the surface of sea level increasing steadily (mengancam) many coastal areas around the world, especially northern America’s coast. One of the best solution in diminishing the rate of global warming force is by inactivating all kinds of energy source materials that produce carbon monoxide gas to the air. Consequently, we have to prepare to discover another energy source material which does not only fulfill the energy needs but also has the positive impacts for the environment and economy-social life. In other words, we have to find out immediately the energy source materials that can maintain a sustainable development without any high risks for human life.
The using of cow’s feces as raw materials in producing biogas is one of the best alternative energy because of many positive impacts that comes from this kind of alternative energy. Biogas, made from the cow’s feces is an efficient alternative energy because we can find the raw material around the cow ranch with free of charge and in an easy way. The waste of this kind of biogas still can be used for agricultural needs as organic (pupuk) or liquid (pupuk).
The implementation of this biogas has been applied in some villages in Indonesia. These are villages that apply in biogas making process. First, Srigading Village, East Java, by Slamet hands, now 4780 villagers, able to enjoy using biogas for their daily needs, such as lightning, cooking, and boiling the water. Before the biogas produced, the villagers only used the burnt wood for cooking needs. They were not able to use the kerosene because of the price was highly increased.
This is an effort that Slamet did to produce biogas by his simple digester. With saved money about 1,2 million rupiahs, Slamet started to construct a bio digester consisted of two (bak) to process cow’s feces to biogas. To produce biogas that is enough for cooking in days, Slamet put the 40 kilograms feces from his two cows into collected (bak) one time in two days. Those feces mix with water and (didiamkan) for six days until the fermentation process cleared. Then, this mix will produce gas that is connected to the second (bak) with PVC pipe. Campuran air dan kotoran sapi ini akan memproduksi gas yang dihubungkan ke bak kedua dengan pipa PVC. Sebuah pipa yang lain akan mengalirkan gas dari bak penampung ke kompor, dan biogas pun siap dipakai untuk memasak. Enam hari setelah menyelesaikan konstruksi biodigesternya, Slamet berhasil menyalakan api di kompor gasnya menggunakan gas alternatif tersebut. “Yang bikin bangga, ternyata saya bisa juga menyulap kotoran sapi jadi api,” kata Slamet sambil tertawa. – taken from an article in website ‘Biogas Pertama Srigading: Slamet Sulap Kotoran Sapi Jadi Bahan Bakar’-
Kedua, Hardiono, ketua Kelompok Tani Sido Makmur di Ngaringan juga berhasil mengembangkan kotoran sapi menjadi biogas. Proses pembuatan biogas Hardiono tidaklah jauh berbeda dengan Slamet. Teknis pembuatan biogas dari telethong sapi juga cukup sederhana. Mulanya, kotoran sapi dicampur air dalam sebuah bak penampung yang disebut digester. Perbandingannya, setiap satu ember telethong dicampur dengan satu ember air. Lalu, campuran itu disalurkan melalui selang/ pipa plastik ke tabung gas yang diteruskan ke kompor gas. "Kompor gas siap dipakai untuk memasak. Kualitas apinya tidak kalah dengan kompor gas umumnya. Sehari kira-kira hanya butuh dua ember telethong dan dua ember air untuk masak pagi sampai sore," tambah dia. – taken from an article in website ‘Kotoran sapi untuk bahan bakar memasak ‘-
Dari kedua contoh desa yang telah menerapkan pemanfaatan kotoran sapi sebagai biogas di atas, kita dapat melihat bahwa biogas ini tidak hanya sebuah upaya penghematan energy yang bermanfaat bagi lingkungan tetapi juga bermanfaat bagi peningkatan kehidupan ekonomi social masyarakat pedesaan setempat. Dari segi lingkungan, sudah amat jelas bahwa biogas ini tidak merusak lingkungan dikarenakan CO2 yang dihasilkan langsung dapat diserap tanaman sehingga emisi yang dihasilkan di atmosfer sangat sedikit. Penggunaan biogas ini dapat pula meminimalisir bahkan menghilangkan ketergantungan energy pada kayu bakar, minyak tanah, dan batu bara yang jelas-jelas menghasilkan emisi karbon yang tinggi di atmosfer. Dari segi ekonomi, penggunaan biogas ini terbukti memperbaiki kondisi ekonomi di pedesaan setempat. Jika dihitung, pemakai biogas dari telethong dapat menghemat uang cukup banyak. Bayangkan, jika sehari dia rata-rata setiap KK (kepala keluarga) memakai minyak 1 liter dengan harga Rp 2.500 per liter. Jika yang memakai 16 rumah, berarti sudah irit Rp 40.000 per hari. Atau Rp 1,2 juta per bulan, dan Rp 14,4 juta per tahun. Dengan adanya peningkatan kondisi ekonomi pedesaan ini, maka secara tidak langsung, penggunaan biogas dari kotoran sapi ini juga berdampak positif pada peningkatan strata social di masyarakat pedesaan. Ambil contoh seorang Slamet yang tadinya hanya seorang peternak sapi dengan hasil penjualannya sebatas susu hasil perahannya. SEkarang, Slamet tengah menjadi seorang pengusaha kecil biogas dan melayani warga desanya untuk membuat digester sederhana.
Pengembangan dan penelitian lebih lanjut mengenai teknologi biogas dari kotoran sapi ini kiranya perlu segera dilakukan. Selama ini kendala yang dihadapi adalah digester buatan yang digunakan oleh masyarakat setempat masih terlalu sederhana sehingga belum bisa menghasilkan pasokan energy yang simultan. Mungkin saja aplikasi teknologi pembuatan biogas ini menggunakan teknologi yang lebih modern, teknologi fermentasi yang menggunakan bakteri tertentu untuk dapat lebih cepat dan lebih banyak menguraikan zat yang ada pada kotoran sapi menjadi biogas. Atau mungkin diperlukan sebuah desain digester yang lebih futuristik dan efektif sehingga dapat menghasilkan biogas lebih banyak daripada jumlah biogas pada desain awal yang amat sederhana. Lalu timbul sebuah pertanyaan, kenapa hanya kotoran sapi yang dapat menghasilkan biogas, apakah kotoran kambing dan ayam dapat pula dijadikan bahan baku pembuatan biogas?? Jika kotoran kambing ataupun ayam dapat dijadikan bahan baku, maka masyarakat pedesaan tidaklah harus memiliki kotoran sapi untuk dapat menghasilkan biogas bagi keperluannya sehari-hari. Masyarakat cukup menggunakan kotoran kambing ataupun ayam sebagai bahan baku. Hal ini dikarenakan harga seekor sapi yang terbilang cukup mahal jika dibandingkan dengan harga seekor kambing atau ayam. Inilah beberapa hal yang memerlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut.
Upaya pengembangan biogas dari kotoran sapi ini sebenarnya sudah dirintis oleh Business Technology Center (BTC-BPPT) bekerja sama dengan PT. Pasir Emas melalui metode Bio Cyclo Farming. Melalui metode ini, suatu hari nanti harapannya Indonesia memiliki sebuah desa dengan sebutan Desa Mandiri Energi. Hanya saja sampai saat ini, model Bio Cyclo Farming baru bisa diterapkan pada suatu wilayah yang berbasiskan pertanian, belum merambah kepada wilayah yang lebih heterogen apalagi merambah sampai ke perkotaan. Akan tetapi, ini bukanlah menjadi persoalan berarti bagi wilayah-wilayah pedesaan di Indonesia yang notabenenya adalah pedesaan pertanian. Dengan kata lain, model Bio Cyclo Farming cukup sesuai dengan karakteristik geografis dan social masyarakat Indonesia. Sehingga suatu saat nanti, kita dapat menyaksikan sebagian besar desa di Indonesia merupakan Desa Mandiri Energi yang menggunakan alternative energy biogas dari kotoran sapi. Lebih dari itu, Indonesia dapat menjadi negara pertama di dunia yang dapat meninggalkan ketergantungan energy dari hasil olahan minyak bumi maupun batubara dan dapat berperan secara signifikan dalam mengurangi emisi gas karbonmonoksida di atmosfer bumi sehingga bahaya global warming dapat teratasi secara bertahap. Selain itu, Indonesia dapat pula menjadi role model bagi banyak negara di dunia, khususnya negara berkembang lainnya, dalam hal kepemilikan energy supply system yang cukup sustanaible environmentally,socially,and economically.

Membentuk Mahasiswa Fateta yang lebih CERDAS, PEDULI, dan BERSAHABAT

Fakultas Teknologi Pertanian dapat dikatakan sebagai fakultas terbaik yang ada di Institut Pertanian Bogor. Hal ini terbukti dari beberapa keunggulan yang dimiliki oleh Fateta, PITP misalnya. PIPT dapat pula dikatakan sebuah perpustakaan yang cukup elite dibandingkan perpustakaan IPB sekalipun. Lalu, ada pula Techno-Park, sebuah pilot plant yang bergerak dalam bidang agroindustry di IPB. Kantin SAPTA yang cukup ramai dikunjungi turut memberikan kontribusi kepada Fateta untuk menjadi salah satu fakultas terbaik di IPB. Selain itu, mahasiswa Fateta telah dipercaya dari tahun ke tahun sebagai mahasiswa IPB yang cukup aktif dalam menoreh prestasi-prestasi baik dalam ajang internal kampus, local, nasional, maupun internasional. Mahasiswa berprestasi IPB tahun 2009 adalah mahasiswa didikan Fakultas Teknologi Pertanian. Delegasi Indonesia dalam lomba pangan yang digelar di California beberapa bulan yang lalu pun merupakan mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian.
Akan tetapi indicator-indikator tersebut rasanya belumlah lengkap untuk sebuah gelar TERBAIK yang disandang oleh sebuah fakultas. Ada indicator lain yang diperlukan untuk melengkapi gelar tersebut. Indikator tersebut belum sepenuhnya tercapai sampai saat ini Fateta berdiri. Indikator apakah itu?? SOLIDARITAS dan SPIRITUALITAS. Solidaritas di Fateta menjadi suatu yang imajiner hanya ada dalam harapan beberapa orang dan terlintas dalam forum-forum kecil belum menjadi sebuah nilai yang tertanam kuat di semua stakeholders yang ada di Fateta. Bahkan nilai ini terancam punah dari hamparan kampus merah, dikarenakan semangat ash-shobiyah atas nama departemen yang begitu menggebu-gebu dan dipuja-puja pada semua tataran, baik tataran mahasiswa Fateta maupun dosen dan pegawai Fateta, apalagi alumni-alumni jebolan fakultas ini yang notabenenya dapat disebut sebagai produk kontaminan ash-shobiyah ini. Spiritualitas merupakan nilai kedua yang dirasa belum begitu melekat pada mahasiswa Fateta khususnya. Tingkat partisipasi mahasiswa Fateta dalam kegiatan keagamaan yang begitu rendah menjadi indicator kuat bahwa Fateta belum memiliki nilai spiritualitas yang baik. Banyak factor yang menyebabkan ini dapat terjadi. Bisa jadi penyebabnya ada dalam diri mahasiswa Fateta sendiri yang benar-benar enggan menghadiri kegiatan keagamaan yang ada di Fateta atau bisa jadi pula disebabkan oleh kurang optimalnya kinerja lembaga dakwah fakultas , Forum Bina Islami Fateta.
Oleh karena itu, berangkat dari dua nilai besar ini, konsep Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Fateta 2009 disusun demi melakukan perubahan-perubahan demi Fateta yang lebih baik sehingga gelar ‘TERBAIK’ ini benar-benar disandang sepenuhnya oleh Fateta dan menjadi role model bagi fakultas lainnya. Dari semangat perubahan ini, lahirlah sebuah visi: ‘Menjadikan Fateta yang lebih CERDAS, PEDULI, dan BERSAHABAT’. Cerdas yang dimaksud disini adalah bukan hanya cerdas secara intelektual tetapi cerdas secara spiritual juga karena memang nilai spiritualitas-lah yang belum sepenuhnya dimiliki oleh mahasiswa Fateta. Indikator yang diharapkan dari nilai cerdas secara spiritual ini adalah mahasiswa Fateta memiliki keimanan yang baik dan terbina dalam bingkai TARBIYAH. Dalam aplikasinya nanti di lapangan, nilai spiritualitas ini akan coba ditanam dengan bantuan kerjasama dari Lembaga Dakwah Fakultas, Forum Bina Islami dan lembaga kerohanian lainnya bagi mahasiswa yang beragama non-Islam. Lalu, untuk nilai solidaritas, perlu disadari bahwa untuk menanamkan nilai solidaritas yang dapat melekat bukanlah suatu perkara yang mudah. Diperlukan metode-metode yang tersusun sistematis, konkrit, dan dinamis. Indikator yang cukup realistis, kira-kira dapat dicapai, untuk nilai solidaritas ini adalah tumbuhnya rasa kepedulian yang tinggi antar sesama mahasiswa Fateta dan kepedulian akan kondisi lingkungan sekitar. Indikator lainnya adalah terbentuknya tali persahabatan yang erat antar semua stakeholders di Fateta.
Ketiga nilai ini, CERDAS, PEDULI, BERSAHABAT akan diterapkan secara formal dan non formal dalam konsep MPF yang berbeda dari tahun sebelumnya. Dengan metode Accelerated Learning dan Cognitive Behavioral Therapy, ketiga nilai tersebut coba ditanam dengan kuat pada diri mahasiswa Fateta 45 baik pada hari sebelum dilaksanakannya MPF , berlangsungnya MPF maupun pasca MPF. Artinya penanaman ketiga nilai ini tidak dapat dilakukan secara parsial dan temporal saja melainkan harus dilakukan secara integral dan berkelanjutan agar nilai-nilai ini terinternalisasi dan akhirnya mengkristal dalam jati diri mahasiswa Fateta.

Fenomena Laskar Pelangi di Langit Dramaga

Hampir semua orang yang pernah ke bioskop pasti tahu sebuah film layar lebar yang disutradarai oleh Riri Riza ini, yaitu Laskar Pelangi. Laskar Pelangi merupakan film layar lebar yang begitu laris. Jutaan orang telah menontonnya mulai dari anak2 sampai orang tua. Tak hanya unsure-unsur entertainment yang disuguhkan tetapi unsure-unsur edukasi pun yang penuh dengan sarat makna disajikan dengan kemasan yang menarik dalam Laskar Pelangi. Film ini diangkat dari sebuah kisah nyata anak2 Belitung yang berjuang keras untuk tetap belajar pergi sekolah walaupun uang tak ada dan sarana prasarana tak memadai. Ikal, Harun, Lintang, dan Mahar nama mereka. Di lain hal, beberapa anak sepantaran dengan mereka lebih memilih untuk membantu kedua orang tua mereka mengais rejeki di pabrik-pabrik timah dan bernelayan tanpa sama sekali acuh dengan nasib pendidikan mereka. Bukan berarti pula, Lintang dan kawan2 sama sekali tidak membantu orangtua mereka, mereka pun membantu orang tua mereka ketika waktu sekolah usai atau libur. Sangat mulia apa yang mereka lakukan!
Pada tanggal 24 Mei 2009, malam hari ketika saya berada dalam sebuah angkot ‘Kampus Dalam’ dari Jakarta menuju Al Inayah, sebuah pesantren dimana saya tinggal, saya memperhatikan dua orang anak yang masih muda belia menjadi seorang supir angkot dan kenek, tepat di angkot yang saya tumpangi. Terlintas di benak saya dua pandangan, pandangan yang positif dan pandangan kekhawatiran yang mendalam. Pandangan pertama: mungkin saja mereka melakukan itu semua demi membantu orang tua mereka dalam mengais rejeki atau meringankan beban orang tua mereka semata-mata untuk membiayai pendidikan mereka, pikir saya. Pandangan yang lain: apa benar mereka telah putus sekolah demi menjadi supir angkot karena mereka pikir buat apa sekolah tinggi-tinggi menghabiskan banyak duit tapi toh nanti akhirnya jadi kuli-kuli juga?? Pikir saya dengan seribu tanda tanya yang disertai kekhawtiran itu. Akan tetapi pandangan saya lebih cenderung mengarah pada pandangan kekhawatiran tersebut.
Pada tempat berbeda, kampus Dramaga tercinta, tapi dengan kekhwatiran yang sama, saya teringat teman2 kecil saya yang hampir setiap hari dari pagi sampai senja menyapa kadang ditemani dengan orang tua menjajakan kue-kue atau donat jualannya kepada mahasiswa yang lalu lalang di hadapan mereka. Sebagian dari mereka ada yang masih melanjutkan sekolah tapi ada pula yang tidak sekolah karena tidak mampu untuk bersekolah atau mungkin mereka merasa lebih asik berdagang dengan penghasilan sendiri daripada belajar ke sekolah seperti anak-anak lainnya. Apa yang diceritakan pada film Laskar Pelangi mengenai anak2 yang lebih memilih untuk menjadi kuli (hanya sedikit dari mereka yang belajar pergi ke sekolah) tampak dengan jelas terjadi pula di Dramaga. Benar memang fenomena Laskar Pelangi telah terjadi di langit Dramaga, sebuah langit dari daerah kecil di Indonesia. Entah berapa banyak fenomena ini ada di seluruh Indonesia dan berapa jutaan anak dengan nasib yang sama??
Ini semua adalah cerminan kondisi anak bangsa Indonesia. Melihat kondisi yang amat memprihatinkan ini, apakah Indonesia dapat keluar dari rongrongan kemiskinan?? Dapatkah bangsa ini terbebas dari belenggu kebodohan?? Dapatkah??